Pagi itu, saat jam masih menunjukkan pukul 03.00, sebuah coretan grafiti menjadi tanda dimulainya hari baru. Di atas kertas, saya membubuhkan tulisan “Welcome to Four Point Ow,” sebuah kalimat berupa kode untuk usia 40 yang kini saya akan jelajahi. Dengan guratan tangan saya mencoba menulis agar terkesan high tech layaknya era 4.0, tulisan itu bukan hanya sekadar angka, melainkan sebuah deklarasi pribadi yang saya ciptakan dalam mengawali era baru, menyambut babak baru kehidupan yang tentunya akan penuh dengan tantangan dan petualangan seru.
Setelah coretan pagi menyambut babak baru, hiruk pikuk kota menjadi saksi perjalanan saya. Bus TransJakarta yang penuh sesak mengantar saya menuju rutinitas yang familier. Tiba di sekolah tepat waktu, sarapan sederhana berupa nasi uduk terasa spesial, seolah menjadi bahan bakar pertama untuk memasuki era 4.0. Sesekali, gurauan ringan terjadi ketika tawaran lontong sayur dari Bu Reni harus ditolak karena nasi uduk sudah terlanjur mengisi lambung. Tak lama kemudian, saya memasuki kelas, disambut wajah-wajah ceria murid kelas 6A yang siap belajar matematika dengan antusias. Hari itu mungkin tampak seperti rutinitas biasa, namun setiap momen terasa istimewa, menyingkap lembaran baru yang siap saya isi.
Di tengah rutinitas yang istimewa itu, saya masuk ke dalam kelas. Suasana kelas 6A pagi itu terasa begitu tenang. Anak-anak tampak sibuk dan fokus mengerjakan soal matematika yang saya berikan. Sesekali, mereka bergantian maju bertanya atau pamit ke toilet, sementara saya asyik memeriksa jurnal harian mereka. Namun, di balik rutinitas itu, saya tidak menyadari adanya sebuah "sandiwara" yang tengah mereka rancang. Perhatian saya terpecah ketika orang tua datang dan Sabiqa tiba-tiba berpura-pura marah kepada Zahira. Keributan itu membuat suasana kelas sejenak riuh, hingga akhirnya semuanya berubah. Tiba-tiba, nyanyian "Happy Birthday" membahana, mengakhiri sandiwara kecil mereka. Di depan saya, sudah ada kue dan kotak kado yang membuat saya terharu. Kejutan manis dari murid-murid saya yang kreatif ini ditutup dengan sesi foto bersama, mengabadikan momen penuh kebahagiaan itu.
Setelah kejutan yang menghangatkan, saya beralih ke tugas lain. Saya berjalan kaki sejenak menuju SDN Cipulir 03 untuk mengemban tugas sebagai pengawas ANBK. Sebelum ujian dimulai, suguhan sepiring siomay menjadi pengganjal lambung agar tetap tenang sebelum fokus mengawasi materi Numerasi. Bersama Bu Nur Is dan Bu Puspa, kami memastikan ujian berjalan lancar tanpa kendala dari pukul 10.30 hingga 12.00. Selesai tepat waktu, saya kembali ke sekolah dengan sebuah bingkisan di tangan, melanjutkan hari yang penuh kejutan demi kejutan.
Sesampainya di sekolah, hal pertama yang saya lakukan adalah mengecek ponsel yang seharian terdiam. Begitu ponsel diaktifkan, seketika ponsel bergetar tiada henti, dibanjiri oleh pesan-pesan ucapan selamat ulang tahun dari rekan-rekan guru dan warga sekolah. Gelombang doa dan harapan yang mengalir lewat grup WhatsApp terasa begitu hangat. Ucapan demi ucapan itu tidak hanya sekadar formalitas, melainkan bukti nyata persaudaraan dan kebersamaan di antara kami. Di tengah kesibukan masing-masing, mereka meluangkan waktu untuk mengingat dan merayakan, membuat saya merasa dihargai dan disayangi.
Tidak hanya dari rekan sejawat, kehangatan lain datang dari murid-murid saya di tahun lalu. Sepanjang hari, anak-anak dari kelas 4—yang saya juluki Fantastic Four—mondar-mandir di sekitar ruang guru. Ada saja alasan mereka untuk muncul, entah itu menanyakan guru lain, mengambil buku, atau sekadar memberi salam. Bahkan, saat saya bertugas di sekolah lain, mereka sempat menanyakan keberadaan saya. Puncaknya terjadi ketika saya kembali. Ruang guru yang semula tenang mendadak ramai oleh suara terompet dan nyanyian. Di sana, mereka berdiri dengan kue dan senyum lebar, memberikan kejutan manis yang meledak dengan penuh sukacita. Momen itu membuktikan bahwa ikatan antara guru dan murid tidak berakhir di kelas.
Setelah keramaian hari kerja, momen yang paling dinantikan tiba. Sekitar pukul 17.00, saya disambut oleh kehangatan sejati. Dua krucil, Athar dan Luana, menyambut dengan pelukan dan cium tangan, diikuti senyum manis dari Ibu. Kami menikmati ketenangan rumah sejenak, membersihkan diri, dan melangkah bersama ke masjid untuk menunaikan salat Magrib. Saat kembali, suasana rumah menjadi hening. Athar dan Luana cepat-cepat masuk kamar, menciptakan ketegangan yang manis.
Hening itu terpecah ketika suara Athar terdengar, "Ayah jangan masuk!" Beberapa detik kemudian, Luana memberi isyarat, "Ayah masukk!" Pintu terbuka, dan nyanyian "Selamat Ulang Tahun" pun bergema di dalam rumah, menutup hari panjang itu dengan kebahagiaan paling intim. Di tengah perayaan sederhana itu, sekotak dimsum mentai menjadi teman spesial yang menyempurnakan kebahagiaan malam bersama keluarga kecil tercinta.
Malam beranjak semakin larut, membiarkan keheningan mengambil alih setelah riuh rendah tawa dan nyanyian. Saat itu, setelah menerima gelombang cinta dari murid, rekan, hingga keluarga tercinta, saya menarik napas panjang. Bukan lagi sekadar angka, usia baru ini terasa seperti sebuah titik balik yang mengharuskan perenungan mendalam. Setiap pelukan, setiap ucapan selamat, adalah pengingat akan panggilan hidup. Dalam keheningan itu, saya mengikrarkan janji diri: "begin at 40th, welcome & fightiing!!" Ini adalah sumpah bahwa babak baru ini akan disambut bukan hanya dengan kegembiraan, tetapi dengan tekad baja. Jika hari-hari lalu adalah pelajaran, maka hari-hari ke depan adalah medan perjuangan sejati, di mana semangat harus terus berkobar demi meraih kebahagiaan seutuhnya—kebahagiaan yang berakar kuat pada keharmonisan keluarga dan kebermaknaan dalam setiap langkah karier.
#menulislagi
#salamkenal
#salamliterasi
#salamindrakeren
#dotai
see you tomorrow 😉
0 Comments:
Posting Komentar