Jumat, 11 Desember 2020

Pentigraf, Ditinggal Ayah

Cerita Sebelumnya

Setiap pagi sejak kami kecil, Ayah selalu meninggalkan kami berdua di rumah. Bahkan ketika kami bangun tidur, terkadang Ayah sudah tidak ada jejaknya. Sebelum meninggalkan kami untuk bekerja Ayah selalu mencatatkan pesan yang sama setiap haari kepada kami berdua. Pesannya sederhana sabar, bersyukur dan selalu akur (saling menyayangi), itu pesan Ayah untuk kami setiap hari yang diletakkan di meja makan tepat di atas tudung saji yang di dalamnya sudah ada sarapan yang tersaji. 

Ayah selalu berangkat dengan supir pribadinya, Supir pribadinya tidak lain adalah Om Sandy. Om Sandy memang sosok yang paling tahu tentang Ayah. Ayah dan Om Sandy sudah saling mengenal sejak masih kanak-kanak saat masih tinggal di Desa. Saat pertama kali Om Sandy datang ke Jakarta, kawan yang pertama kali ditemuinya adalah Ayah. Sejak saat itulah Om Sandy bekerja menjadi supir Ayah sampai sekarang.

"Cinta ... Juna....!!" teriak Om Sandy yang suaranya terdengar kencang sekali.

Nafas Om Sandy terengah-engah, seakan habis dikejar anjing berkepala dua, seperti yang sering diceritakan Ayah kepada kami jika kami sedang nakal. Mukanya pucat, dan seakan ada yang terganjal ditenggorokannya saat ingin mengucapkan sesuatu. Kami pun bingung dengan apa yang terjadi. Belum lagi memar dan sedikit goresan yang mengeluarkan darah segar terlihat dibeberapa bagian tubuh Om Sandy, membuat kami bertanya-tanya tentang sesuatu. Ada apa ini?.  Tanpa dapat mengucapkan sesuatu, Om Sandy hanya memberikan amplop putih yang terkena sedikit bercak darah berbentuk remasan jari seseorang. "Ini dari Ayah kalian" Ucap Om Sandy seraya mengecup kening kami berdua dan berlalu.

Cerita Selanjutnya

#Dec10AISEIWritingChallenge

Salam Literasi, Salam Indrakeren

2 Comments: